-->
Ketika Benar Salah dan Baik Buruk Menjadi Kawan Bukan Lawan, Tak Ada Beda

Ketika Benar Salah dan Baik Buruk Menjadi Kawan Bukan Lawan, Tak Ada Beda

Ketika Benar Salah dan Baik Buruk Menjadi Kawan Bukan Lawan, Tak Ada Beda



Tak ada kata terlambat untuk belajar.
Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.

Artikel kali ini saya awali dengan 2 kalimat di atas adalah untuk memperhalus keterlambatan postingan ini. Penulis (saat ini) sadar bahwa terlambat adalah suatu hal yang tidak baik/salah, akan tetapi jika masih bisa menghasilkan hal-hal yang baik, kenapa enggak? 

Belajar bukan hanya tugas para pelajar/siswa sekolah formal, akan tetapi juga tugas mereka yang telah bertitle sarjana bahkan telah mengabdikan diri di dunia kerja, masyarakat, agama dan negara. Siapa pun itu adalah pelajar yang bisa belajar dari alam, kejadian sekitar, contoh-contoh kebenaran, bahkan contoh-contoh kesalahan. Bukan untuk mengikuti kesalahan tersebut, akan tetapi untuk menjaga diri dari perbuatan yang salah.

Ahh... Bukan kah benar dan salah, baik dan buruk itu hanya lah sebuah penafsiran yang, bisa jadi sangat, subjektif?



Sedikit bercerita, saya pernah aktif berbagi ilmu dengan adik-adik yang masih belajar di beberapa sekolah di kota gudeg, Yogyakarta. Singkat cerita, saya bertanya kepada adik-adik tersebut.

"Kalian benci koruptor gak?"
"Iya, benci", sahut mereka lantang.
"Kenapa?"
"Karena mereka mencuri uang rakyat.", jawab mereka dengan kencang.
"Apa itu salah?"
"Jelas salah, Pak!", jawab mereka penuh percaya diri.
"Nah, gimana jika mereka menganggap korupsi sebagai hal yang biasa dan wajar. Bagaimana jika mereka yang berbuat korup tidak merasa diri mereka berbuat kesalahan dan justru menganggap mereka yang "sok suci" adalah yang salah?"

Mereka mulai terdiam, bahkan sampai suara sepatu dari langkah kaki saya terdengar. Mungkin pertanyaan itu terlalu berat untuk mereka jawab. Akhirnya, saya cari analogi yang lebih bisa dicerna oleh mereka dan saya kembali bertanya.

"Jika kalian benci koruptor, apa kalian juga benci dengan siswa yang saling contek saat ujian?"

Suasana semakin hening. Saya mencoba mengaitkan 2 hal yang sangat berbeda untuk dijadikan sebuah kesimpulan yang senada. Lebih tepatnya dipaksakan senada.

"Jadi gini, sekarang ada banyak hal yang keliru tetapi karena banyak orang yang melakukan hal tersebut maka hal-hal yang keliru itu bermetamorfosa menjadi suatu hal yang biasa dan tidak ada lagi nilai dan kesan negatifnya."


Benar VS Salah, Baik VS Buruk



Memang benar, batasan antara benar dan salah, baik dan buruk kini tak lagi jelas. Batasan yang hanya seperti kertas lentur yang bisa berbelok tak tentu arah, sewaktu-waktu bisa robek dan bocor. Hal baik berubah menjadi hal buruk atau sebaliknya. Banyak nilai yang sudah berubah warna dan makna. Jika dulu kakek nenek kita melarang orang tua kita melakukan sesuatu, sekarang hal-hal terlarang tersebut sudah tak lagi bisa diwejangkan oleh orang tua kita kepada kita.

Waktu sudah berubah, budaya sudah sedikit banyak berubah, pola pikir sudah tak lagi sama, apa lagi? Setidaknya itu lah beberapa hal yang membuat "nilai" bisa bergerak ke kanan dan ke kiri. Butuh perjuangan besar dan tak henti-henti untuk meluruskan kembali nilai-nilai peninggalan nenek moyang kita. Meskipun terbungkus dalam hal yang kuno, tetapi nilai-nilainya tetap lah baik. Yang jadi masalah adalah orang jaman sekarang hanya melihat bungkus tanpa adanya usaha untuk mengulik jauh ke dalam untuk mengambil nilainya.


Lucu VS Konyol



Masih terkait dengan hal yang tadi diceritakan, anak 80an dan yang lebih "senior" akan bercerita gerak gerik lucu mereka ketika menghadapi ujian di sekolah. Lucu, bukan konyol. Mari kita bandingkan.

Sebut saja mereka senior dan kita sebut anak jaman now junior.

Para senior membuat garis penanda "daerah teritorial" di atas mejanya. Masing-masing teman satu meja mempunyai daerah kekuasaannya sendiri dan tidak boleh bergerak atau memposisikan anggota badan melebihi garis yang telah disetujui, meski tak ada hitam di atas putih. Saat ujian, mereka banyak memakai bukunya untuk menutupi hasil kerjanya. Selain takut dengan teman semeja, mereka jauh lebih takut dengan gurunya. Tak ada yang berani lirik kanan lirik kiri.

Di sisi lain, para junior seakan telah kehilangan semangat juang untuk menjalani ujian. Seakan mereka sudah memiliki "dewa penyelamat". Tanpa belajar pun, mereka (yang memang kesehariannya tak pernah belajar) bisa dengan tenang memasuki ruang ujian. Begitu pula pulangnya, sangat tenang. Apa yang terjadi selama ujian, aaahh, tiba-tiba saya malas membahasnya. Konyol!


Nilai VS Biasa



Masih banyak "kebingungan" lain yang bisa dijadikan contoh, bukan mempermasalahkan, mana yang benar mana yang salah dan mana yang baik mana yang buruk. Kebingungan tersebut muncul karena ketidakjelasan nilai benar salah dan baik buruk. Bukan karena nilai tersebut tak tertulis, tetapi karena sensibilitas yang membedakan kedua hal tersebut, benar/salah dan baik/buruk, semakin terkikis seiring waktu berjalan.


Terus, masalah buat kita? 



Jelas akan jadi masalah! Jika parameter atau pembatas yang kita pakai sebagai pembeda adalah "biasa", maka konsep benar salah baik buruk akan menjadi hambar. Mencontek bukan lah hal yang keliru karena itu sudah biasa. Tawuran juga gak masalah karena itu adalah hal yang biasa bahkan menjadi karakter yang "dibanggakan" oleh "pelajar" SMK. Bagaimana dengan free sex, alkohol, narkoba, bullying, dll yang juga "sudah" menjadi hal yang biasa?

Lalu, jika terlambat juga sudah menjadi hal yang biasa, apakah terlambat itu salah? 
Blogger
Disqus
Pilih Sistem Komentar

Tidak ada komentar

Advertiser