22 Oktober 2017.
Hari ini harinya para santri.
Hari ini, aku mencoba berbagai cara untuk mendapatkan predikat sebagai santri.
Definisi Santri
Dari beberapa hari sebelum ulang tahun ke-2 Hari Santri Nasional, aku nanya-nanya mbah google tentang apa dan siapa itu santri. Cukup singkat dan jelas, santri adalah orang-orang yang belajar di sebuah pesantren dari awal sampai akhir. Waduh? Berarti aku bukan santri dong?
Belum menyerah, aku mencari definisi santri dari sumber lain dan akhirnya nemu, santri menurut Gus Mus. Orang yang berakhlak seperti santri adalah santri. Waduh? Bukan juga. Tapi setidaknya terkesan lebih mudah karena aku gak perlu mondok sampai bertahun-tahun untuk menjadi santri.
Membaca lebih banyak lagi dan aku menemukan definisi santri menurut beberapa kiai. Kebanyakan menyebutkan bahwa santri adalah orang yang belajar kepada guru, tawadhu' kepada guru, mengikuti apa yang diamalkan guru, taat kepada guru, melanjutkan perjuangan guru, dll.
Sebelum lanjut, sedikit cerita kalau aku juga pernah "nyantri". Pernah ngalap kaweruh sama Kiai yang berasal dari Mlangi, Yogyakarta. (Lahul fatihah). Ada hal yang sedikit sama tentang apa yang beliau sampaikan dengan apa yang diungkapkan oleh Gus Mus. Beliau menganggap semua yang pernah ikut nimbrung ngaji di pesantrennya adalah santrinya.
Sebagian besar ngendiko, santri adalah orang-orang yang belajar dan nderek kiai, meyakini apa yang didhawuhkan, apa yang disampaikan, apa yang diajarkan, dan apa yang diamalkan. Sami'na Wa atho'na.
Sebelum lanjut kembali, prolog di atas hanya lah sebuah definisi yang sudah pasti berbeda dengan makna.
Sekilas Sejarah
Ngomong-ngomong soal sami'na wa athona, kami dengar dan kami taat, mari kita flashback kembali ke 72 tahun yang lalu ketika simbah kiai Hasyim Asyari dhawuh, memerangi penjajah hukumnya adalah fardhu ain, wajib. Jika kita saat ini mendengar dhawuh tersebut dengan banyak berkumandangnya "Allahu akbar!" "NKRI harga mati!" atau suara penyemangat jihad yang lain, sanggup kah kita mengangkat senjata mengusir penjajah? Atau malah hukum fardhu ain diganti dengan fardhu kifayah sehingga gugur kewajiban kita ketika sudah ada sebagian saudara kita mengangkat senjata? Atau jika kita berani angkat senjata, apakah benar berdasarkan keyakinan lillahi ta'ala, bukan pamer sebagai lelaki jantan atau takut dikatakan munafik?
Kita sekarang tinggal menikmati hasil, tapi belum sampai pada tujuan. Kita masih perlu melanjutkan perjuangan para pendahulu kita. Tanyakan pada diri kita, "Benar kah kita sudah merdeka?"
Kita belum mandiri karena banyak penguasa tak pakai mereka punya hati. Beras masih impor dengan harga mahal, sumber daya alam kita ekspor dengan harga murah. Masih banyak suara terpendam di negara demokrasi ini. Kita ada di bawah kendali. Ini lah tugas para santri, melanjutkan perjuangan para mujahid. Jangan berhenti sampai di sini!
Berat, memang berat.
Mau jadi santri itu tak semudah foto selfie dan menggabungkan foto dengan tulisan, "bangga jadi santri". Tak semudah duduk mendengarkan da'i. Tak cukup mengkhatamkan kitab-kitab kuning dan mengkaji. Jika memang semudah itu, bagaimana para santri yang telah wafat sebagai mujahid (meskipun pada hakikatnya tetap hidup) dan melihat santri jaman now?
Kiai
Balik lagi ke definisi santri. Banyak yang bilang, santri itu adalah mereka yang tholabul ilmi kepada kiai. Nah, kalau begitu kiaiku siapa? Faktanya, banyak orang seperti aku yang ngaku santri tapi gak tau kiai, gak kenal kiai, apa-apa gak nanya ke kiai, tapi seperti yang aku lakukan hari ini, aku nanya ke mbah google yang aku anggap sebagai kiai. Emang mbah google ngaji dimana, nyantri dimana?
Seperti hukum hadits, ada beberapa level mulai shahih sampai dhoif. Yang membedakan adalah dari siapa hadits itu disampaikan. Intinya adalah untuk memastikan seberapa valid informasi yang disampaikan. Poin penting yang mulai pudar dan perlahan hilang. Sebenarnya bukan karena tidak mau memastikan asal muasal suatu informasi, akan tetapi saking terbatasnya usaha untuk membendung informasi yang membludak. Nah terus, apakah ada solusi? Silahkan, ini tugas santri untuk menciptakan sebuah filterisasi. Ihdinash shirathal mustaqiem.
Selain itu, untuk temen-teman yang sudah punya kiai sebagai guru, pastikan kiai kalian meridhoi. Pastikan ada sebuah timbal baliknya, bahwa mereka juga menganggap kalian sebagai santrinya.
Pendidikan Santri VS Pendidikan Formal
Diambil dari kitab Ta'limul Muta'allim, ada 6 syarat untuk menuntut ilmu yang diamalkan oleh para santri.
Dzukain, wa khirsin, wastikarin, wa bulghoti, wa irsyadi ustadzi wa thuli zamani.
- Cerdas
- Semangat
- Sabar
- Biaya
- Petunjuk guru
- Waktu yang lama
Di pesantren, santri menundukkan pandangan ketika berhadapan dengan kiai, mencium tangan untuk menghormati kiai, mendengarkan dan mencermati apa yang disampaikan oleh kiai, sadar diri siapa santri dan siapa kiai. Faktanya di luar sana, ada guru yang dipenjara karena siswa, ada guru yang dipantati oleh siswa, ada guru yang rela apa saja karena dibayar oleh siswa, dll. Semoga tidak terjadi lagi.
Santri Jaman Now untuk Negeri
Mengemban nama santri tidak lah mudah, Kawan. Kalian sudah punya benteng iman, perkuat lah karena ketika kalian keluar dari pesantren, kalian akan menemukan banyak hal yang begitu menarik, tetapi menjebak dan begitu tak menyenangkan, tetapi perlu diperjuangkan. Banyak hal yang bisa menjadi ajang kontribusi untuk negeri. Jangan ketinggalan informasi, jangan ketinggalan teknologi. Kami berharap banyak! Kalian punya banyak PR. Buka mata dan liat seberapa banyak permasalahan negeri ini. Listing hal-hal yang bisa kalian perbaiki, jadikan sebuah soal dan cari jawabannya, jangan lupa eksekusi jawabannya.